Pada suatu masa, Kerajaan Indragiri mengalami zaman keemasannya. Ibukota kerajaan yang menjadi pusat pemerintahan berada di Japura. Semula Japura bernama Rajapura. Rakyat Indragiri hidup dengan sejahtera, tenteram, dan damai. Para datuk memimpin dengan baik dan menjadi teladan bagi seluruh penduduk negeri.
Suatu
hari, salah seorang datuk yang bernama Datuk Sakti, pergi menghiliri Sungai
Indragiri. Saat itu Sungai Indragiri masih bernama Sungai Keruh. Datuk Sakti
ingin melihat kehidupan rakyatnya yang hidup di sepanjang sungai tersebut.
Menjelang
sore, Datuk Sakti menaiki sebuah tebing untuk mencari tempat beristirahat.
Datuk Sakti kemudian memasuki hutan di dekat sungai. Sampailah dia di tepi
sebuah kolam. Air kolam itu sangat jernih, tenang, dan cemerlang bak loyang.
Ketika Datuk Sakti sedang duduk beristirahat di bawah sebuah pohon besar,
tiba-tiba ia dikejutkan oleh sekumpulan wanita cantik yang terbang turun dari
angkasa. Datuk Sakti terperanjat bukan alang kepalang. “Amboi, elok sangat
gadis-gadis itu. Apakah saya ini mimpi?” gumam Datuk Sakti sambil mengusap-usap
matanya. “Ah, ini bukan mimpi,” ia gumam lagi untuk meyakinkan dirinya kalau
yang dilihatnya itu benar-benar nyata. Ternyata benar, apa yang dilihatnya
sungguhlah nyata.
Dari
balik pohon Datuk Sakti menyaksikan para bidadari itu melepas pakaian mereka
yang indah, dan meletakkannya di pinggir kolam. “Aduhai, sungguh mempesona
tubuh para bidadari itu,” ucap Datuk Sakti kagum.
Para
bidadari itu kemudian mandi dengan riang gembira, sambil bercanda dan
bernyanyi. Suara mereka merdu bak buluh perindu, menghanyutkan hati bagi siapa
saja yang mendengar. Air kolam berkecipak berkilauan, memantulkan sinar
matahari sore yang berwarna kuning keemasan.
Menjelang
senja tiba, usailah para bidadari mandi. Mereka mengenakan pakaiannya kembali,
dan secepat kilat terbang ke angkasa. Datuk Sakti yang terpukau segera
tersadar. “Alangkah bahagianya kalau aku memiliki istri salah satu bidadari
itu,” pikir Datuk Sakti.
Datuk
Sakti termenung, memikirkan cara menangkap salah satu bidadari tersebut.
Tiba-tiba ia teringat sesuatu. Senja itu adalah malam bulan purnama penuh,
tentulah pada purnama berikutnya para bidadari akan datang lagi. Sepurnama itu
Datuk Sakti terus berdoa. “Doa akan merubah retak tangan yang telah digariskan
Tuhan,” pikir Datuk Sakti. Dia puasa tujuh hari, mandi limau tujuh pagi tujuh
petang, untuk membersihkan dirinya lahir batin.
Pada
purnama berikutnya, Datuk Sakti bergegas pergi kembali ke Kolam Loyang tempat
para bidadari mandi. Dia bersembunyi di balik semak yang rapat. Dia sangat
berhati-hati sekali jangan sampai ketahuan oleh bidadari tersebut. “Wah, aku
harus berhati-hati. Jangan sampai ketahuan oleh mereka. Kalau mereka tahu,
hancurlah harapanku selama ini,” katanya bertekad dalam hati. Benarlah!
Menjelang sore, langit kemilau oleh cahaya terang yang mengiringi kedatangan
para bidadari. Sebagaimana biasa, mereka menanggalkan pakaian dan mencebur ke
dalam kolam, bersuka ria. Tengah para bidadari berkecipak-kecipung di air,
Datuk Sakti diam-diam mengambil salah satu selendang yang ada di dekatnya.
Setelah
senja, para bidadari tersebut mengenakan kembali pakaiannya. Tetapi, ada satu
bidadari yang tidak menemukan selendangnya. Bidadari-bidadari lain tidak dapat
menolongnya. Mereka harus kembali sebelum malam turun. Bidadari yang kehilangan
selendang itu terpaksa mereka tinggalkan. Bidadari itu pun menangis
tersedu-sedu dengan sedihnya. Tangisannya menusuk kalbu siapa saja yang
mendengarnya.
Datuk
Sakti keluar dari persembunyiannya, dan mendekati bidadari malang tersebut.
“Wahai Bidadari cantik, ada apa gerangan kamu menangis?”sapa Datuk Sakti.
“Tuan, apabila Tuan mengetahui selendang saya, hamba mohon kembalikanlah
selendang itu,” pinta Bidadari itu.
Datuk
Sakti mengeluarkan selendang itu dari balik punggungnya, lalu berkata, “Aku
akan mengembalikan selendang kamu tetapi dengan syarat, kamu bersedia menjadi
istriku.” Dengan senyum yang tulus, sang Bidadari menjawab, “Ya, saya berjanji
bersedia menikah dengan Tuan, asalkan Tuan sanggup berjanji pula untuk tidak
menceritakan asal-asulku dan peristiwa ini kepada orang lain. Jika Tuan
melanggar janji, berarti kita akan bercerai.” Syarat yang diajukan sang
Bidadari sangatlah ringan bagi Datuk Sakti. “Baiklah, saya bersedia mengingat
janji itu,” jawab Datuk Sakti. Lalu, Datuk Sakti membawa Bidadari itu ke rumahnya.
Masa
berlalu. Mereka menikah dan hidup berbahagia. Tiada berapa lama, bidadari itu
melahirkan anak laki-laki, disusul anak perempuan. Anak-anak itu tumbuh sehat,
cerdas, dan rupawan. Datuk Sakti melatih anak laki-lakinya hingga tangkas
bersilat, berburu, berniaga, dan berlayar. Sang Bidadari mengajari anak
perempuannya menenun, memasak, merawat rumah, dan bertanam padi.
Keluarga
Datuk Sakti terlihat sempurna. Semua orang kagum dan memuji kecantikan paras,
keelokan perilaku, serta kepandaian sang Bidadari. Datuk Sakti sangat bangga
akan istrinya, hingga lupa dengan janjinya pada sang Bidadari. Tanpa sadar, dia
bercerita bahwa istrinya adalah bidadari dari kahyangan. Dia menangkapnya saat
mandi di Kolam Loyang.
Setelah
mendengar cerita Datuk Sakti, pada setiap malam purnama orang-orang
berduyun-duyun ke Kolam Loyang untuk berburu bidadari. Mereka bersaing,
berebut, bahkan saling bertikai untuk mendapatkan semak lebat yang terdekat
dengan kolam. Tetapi mereka pulang dengan tangan hampa, karena semenjak ada
salah satu bidadari kehilangan selendang, para bidadari yang lain tidak berani
lagi mandi di Kolam Loyang.
Mengetahui
Datuk Sakti telah melanggar janjinya, sang Bidadari sangat sedih dan marah.
Sambil menangis dia mengambil selendangnya. “Karena rahasia kita telah Kakanda
bongkar, aku akan kembali ke langit. Tolong pelihara putra-putri kita, agar
menjadi orang yang berguna. Selamat tinggal,” sang Bidadari pamit, lalu terbang
ke angkasa. Sejak saat itu, sang Bidadari tidak pernah lagi kembali ke Kolam
Loyang mand-mandi.
Datuk
Sakti sangat sedih dan menyesal, tetapi nasi telah menjadi bubur. Akhirnya dia
menerima takdirnya dan membesarkan anak-anaknya dengan baik. Kedua anak itu
tumbuh menjadi jejaka dan gadis yang rupawan, pandai, dan baik budi. Semua
orang menyukai mereka. Pada setiap malam purnama, Datuk Sakti dan
putra-putrinya pergi ke Kolam Loyang untuk mengenang ibundanya. Mereka juga
berdoa agar sang Bidadari bahagia di kahyangan.
Sejak
peristiwa tersebut, desa tempat mereka hidup itu kemudian mereka beri nama
Keloyang, yaitu diambil dari kata Kolam Loyang. Saat ini, desa tersebut telah
berkembang dan dikenal dengan nama Kelayang, salah satu nama kecamatan di
Kabupaten Indragiri Hulu, Propinsi Riau, Indonesia. Kelayang dibentuk menjadi
kecamatan berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 tahun
1995. Di samping itu, juga terdapat sebuah desa yang bernama Kelayang di
wilayah Kecamatan Kelayang.
Hingga
kini, pemerintah daerah Indragiri Hulu telah mengeluarkan kebijakan sebagai
upaya untuk menghargai dan melestarikan Kolam Loyang di Kecamatan Kelayang,
karena Kolam Loyang ini merupakan icon kebudayaan masyarakat di daerah itu.
0 komentar:
Posting Komentar